Senang rasanya dapat mengikuti kompas saba kampus juni lalu di Universitas Padjajaran. Ini adalah kali kedua saya mengkuti kegiatan ini. Sebelumnya saya telah mengikuti Kompas Saba Kampus pada tahun 2013 di UNPAR. Terlalu banyak alasan untuk diungkapakan mengapa saya mau mengikuti kegiatan ini lagi. Namun selalu ada alasan utama yang pada akhirnya mengantarkan saya untuk duduk manis mendengarkan workshop-workshop yang diberikan secara cuma-cuma oleh Kompas. Alasan utama mengapa saya mau mengikuti kegiatan ini tentu saja Kompas. Siapa yang tidak tahu Kompas? Kompas merupakan sebuah angan dari pemikiran saya, sebuah cita-cita yang harus bisa saya raih. Saya ingin berkontribusi walau sedikit untuk Kompas. Mengapa? Jelas karena saya memiliki cita-cita untuk menjadi seorang jurnalis. Awal mula mengapa saya ingin menjadi seorang jurnalis adalah sejak saya masih duduk di bangku SD. Kala itu saya senang sekali melihat orang yang berlari-lari berdesakan sambil membawa kamera, perekam suara ataupun notes mengerumuni tokoh-tokoh yang rajin nongol di TV, rasanya keren sekali. Seiring berjalannya waktu saya mulai mengetahui siapa orang-orang yang gemar berlari-lari tersebut, saya juga mulai tahu gambaran kasar dari apa yang mereka lakukan dan kerjakan setiap harinya. Pekerjaan menantang yang mereka lakukan membuat saya terpacu agar bisa menjadi seorang jurnalis. Fakta lain yang saya ketahui kala itu yaitu seorang jurnalis adalah seorang petualang yang pergi kemanapun dan kapanpun, pemikiran polos anak kecil akan senangnya bisa jalan-jalan secara terus menerus ini juga yang menjadi trigger bagi saya untuk bisa menjadi jurnalis. Namun pemikiran itu masih melekat dalam otak saya hingga sekarang. Cerita di ataslah yang menjadi awal mula saya memutuskan untuk mengikuti workshop menulis jurnalistik yang diadakan di UNPAR tahun lalu (2013). Keinginan untuk memperdalam ilmu jurnalistik juga yang ingin saya dapatkan kala itu. Banyak pengetahuan yang saya dapatkan dalam mengikuti kegiatan ini, diantaranya adalah dinamika penulisan jurnalsistik di Kompas. Kegiatan ini sangat bermanfaat bagi saya yang saat ini menjabat sebagai reporter kampus (mudah-mudah ini adalah batu loncatan untuk saya agar bisa menjadi jurnalis yang ‘sebenarnya’) . Beberapa bulan berselang, Kompas kembali mengadakan Kompas Saba Kampus yang berlokasi di UNPAD Bandung, kali ini tanpa banyak pikir saya langsung mendaftarkan diri untuk menjadi peserta workshop. Saya memilih kelas fotografi jurnalistik kala itu. Alasan saya memilih ini adalah saya ingin tahu banyak mengenai kriteria apa yang sebenarnya harus dimuat dalam sebuah foto untuk layak menjadi pengantar berita, selain itu ini juga menjadi alasan untuk meningkatkan kualitas dari hobi saya yaitu fotografi. Workshop kala itu di bawakan oleh Eddy Hasby, beliau adalah kepala divisi fotografi Kompas. Beliau menjelaskan bahwa fotografi merupakan salah satu elemen penting dari sebuah karya jurnalistik. Sebuah berita akan memiliki nilai lebih apabila menggunakan foto yang menarik. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa manusia cenderung lebih senang untuk melihat gambar daripada tulisan, hal ini juga terjadi di Indonesia. Kebanyakan orang baru membaca berita setelah melihat fotonya dahulu, oleh karena itu fotografi jurnalistik berperan untuk menarik minat para pembaca untuk mau membaca berita yang disandingkannya. Fotografi jurnalistik sendiri tidak berbeda jauh dengan fotografi secara umum. Mengenai teknis memotret bisa dipastikan sama saja dengan fotografi pada umumnya bahkan tidak ada perbedaan sedikitpun, yang menjadi perbedaan adalah yang disampaikan. Fotografi jurnalistik sendiri menuntut para fotografer untuk dapat menghasilkan foto yang memiliki nilai. Apa saja nilai itu? Nilai tersebut adalah emosi. Foto jurnalistik harus memiliki emosi yang dapat menggambarkan apa yang terjadi, memberi pesan moral, memberi kritik serta menyampaikan aspirasi. Istilah kasarnya adalah “foto tak perlu bagus yang penting momennya bagus”. Namun beriringan dengan jaman yang terus berkembang, saat ini sudah mulai ada pergeseran teknis fotografi. Saat ini fotografi jurnalistik sudah mulai beralih menjadi videografi jurnalistik. Perkembangan teknologi yang begitu pesatlah yang membuat hal ini terjadi. Saat ini dalam kondisi apapun dan waktu kapanpun, kita bisa saja mereportasekan berita-berita yang paling up to date, hal ini didukung dengan gadget-gadget yang canggih dan kemudahan kita dalam meraih fasilitas internet. Selain karena perkembangan teknologi, videografi juga berkembang sesuai dengan ‘pasar’. Saat ini, jujur saja bahwa kita akan lebih senang melihat video tutorial daripada membaca buku panduan. Hal ini juga terjadi dalam hal membaca berita. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar dari kita lebih senang untuk menonton siaran berita dibandingkan dengan membaca sebuah berita. Hal ini disebabkan karena sebagian besar orang sudah malas untuk melihat sebuah artikel ber-foto yang dibubuhi dengan tulisan yang bertumpuk-tumpuk, menonton dinilai lebih ringan dan juga lebih aktual, karena gambaran kondisi di TKP lebih jelas disampaikan kepada penikmat berita. Selain menyampaikan hal diatas, Eddy Hasby juga berbagi resep kepada para peserta workshop dalam hal membuat video reportase serta tekniknya. Beliau menjelaskan bahwa untuk mebuat sebuah video reportase harus mempertimbangkan semua aspek secara matang baik itu mengenai objek maupun teknis. Sangat diperlukan plotting dari rencana kerja yang mendetail agar hasil yang didapat juga maksimal, salah satu caranya adalah dengan cara membuat workflow dari pembuatan video terkait. Diawali dengan penyusunan story line, shoot video dan foto, dan tahap tahap pengeditan lalu publikasi. Video yang baik adalah video yang memiliki tema yang kuat, untuk mendapatkan hal tersebut sangat diperlukan riset kepada objek yang akan diamati. Hasil riset akan menentukan sejauh mana karya kita akan dibuat dan akan seperti apa pada akhirnya, ini adalah bagian tersulit dalam proses pembuatan video. Kalau mengenai proses teksnis di lapangan, meunurut pembicara standar saja, bahkan tidak perlu alat-alat super canggih. Intinya adalah tema yang kuat akan menjadi karakter yang melekat didalam sebuah video. Dari hal-hal yang saya dapatkan selama workshop, saya menyimpulkan bahwa tema merupakan kunci dari keberhasilan kita dalam membuat sebuah karya video jurnalistik, selain itu riset juga perlu dilakukan agar apa yang kita sampaikan dalam video tersebut memiliki bobot yang berisi serta bernilai dan layak untuk dipublikasikan. Hal-hal tersebut tidak hanya terpaku di dalam dunia video jurnalistik, menurut saya pribadi hal-hal seperti membuat workflow, riset dan sebagainya sangat bisa untuk diterapkan dalam pekerjaan bahkan kegiatan sehari-hari, dengan membeuat workflow alur dan tujuan dari pekerjaan akan semakin jelas arah dan tujuannya, dan juga pasti akan membuat waktu mejadi lebihj efisien. Selain pelajaran-pelajaran diatas, dengan mengkuti acara Kompas Saba Kampus ini juga saya menjadi banyak mengetahui dapur dan dinamisme pekerjaan dari dari sebuah perusahaan media terutama Kompas. mulai dari riset, pencarian berita dan tahap-tahao lainnya hingga akhirnya berita itu bisa sampai di hadapan para konsumen. Ternyata menjadi jurnalis itu bukanlah hal yang mudah, namun tidak juga sulit tapi sangat menantang.