Gajah dan manusia tak pernah berteman sejak dahulu kala. Ya tidak berteman, meskipun manusia dan gajah sudah akrab sejak jaman dahulu tapi hubungan mereka tidak berbeda jauh seperti Jepang dan Indonesia di tahun 1942-1945. Penjajah dan budak.
Namun bedanya adalah gajah tidak pernah merdeka, dia selalu dijajah dan ditindas oleh manusia. Mulai dari era peradaban kuno, gajah sudah digunakan sebagai alat transportasi oleh kerajaan-kerajaan hindu kuno seperti di India dan Kamboja. Mereka para gajah harus rela menanggung beban tandu yang super berat ditambah beban manusia yang berada di atas punggungnya, namun mereka tidak pernah berontak. Karena berontak akan membuatnya tak bernyawa.
Selain menjadi alat transportasi gajah juga dijadikan sebagai budak atau buruh paksa yang tak pernah dibayar, gajah dengan tabah harus kuat menarik barang-barang yang memiliki ukuran super besar dan bobot super berat seperti kayu dan batu yang tak akan pernah bisa diangkut oleh manusia. Dengan itu para gajah merelakan rumahnya untuk dihancurkan sekaligus turut membantu membangun bangunan kerajaan dan infrastruktur di jaman itu. Bahkan sampai saat ini di beberapa tempat, gajah masih digunakan sebagai alat angkut.
Beruntung meriam berhasil diciptakan, karena sebelumnya di India, Persia, Romawi, Timur Jauh (Tiongkok), Mediterania dan gajah dijadikan juga sebagai alat perang. Tak sedikit jumlah gajah yang harus mati dibunuh pada era itu, misalnya di Asia Tenggara, di sepanjang perbatasan Vietnam modern, pasukan Champa mengerahkan sampai 602 ekor gajah perang untuk melawan Dinasti Sui. Namun apa daya, gajah-gajah perang itu harus mati didalam keriuhan perang busur silang atau jatuh kedalam lubang perangkap. Gajah tak akan bisa menang dari perang, karena gajah tidak memiliki insting menyerang, yang mereka lakukan adalah bertahan saat mereka merasa terancam.
Zaman modern masih tidak merubah nasib gajah. Perbudakan yang agak berbeda dari bentuk-bentuk perbudakan sebelumnya namun masih sama kejamnya. Komersialisasi gajah. Saat ini hampir di seluruh kebun binatang, para pengunjung bisa bayar untuk menunggangi gajah bag petinggi-petinggi kerajaan jaman dahulu. Pengunjung juga bisa tertawa terbahak-bahak dan bertepuk tangan kagum ditengah atraksi-atraksi yang dilakukan oleh gajah seperti, duduk, berdiri dan bermain bola. Sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh mereka yang menjadi penonton bahwa betapa menderitanya para gajah untuk melakukan itu semua, sejak kecil mereka harus disiksa oleh para pelatih agar badan mereka menjadi lentur dan bisa menurut kepada perintahnya.
Gajah liar pun sama naasnya. Saat ini mereka dianggap sebagai hama oleh para petani dan pengusaha-pengusaha yang sudah merebut dan mengurangi luas tempat tinggal (habitat asli) gajah. Tak sedikir dari mereka harus mati dibunuh secara kejam oleh para penjaga kebun maupun pemburu disaat mereka ingin mengunjungi tempat yang dulunya adalah bagian rumah gajah namun kini sudah disulap menjadi lahan perkebunan. Namun mereka ‘agak’ sedikit beruntung disbanding teman-temannya yang ada di kebun binatang, karena mereka masih bisa menghirup udara segar dan masih bisa melonjorkan kakinya yang besar dengan leluasa, tanpa rantai.
“Tak Bisa Menjadi Teman, Setidaknya Jangan Menjadi Musuh”
Sampai kapan kita para manusia akan memperbudak gajah? Tidak cukup kah jasa mereka bagi kita dan peradaban kita? Apakah benar sebentar lagi mereka akan punah yang dibuat oleh karena manusia?
Alangkah baiknya, penderitaan atas kebaikan gajah kita balas. Ini mungkin adalah saatnya bagi kita untuk membalas budi baik mereka selama ini. mereka telah memberi banyak hal kepada kita, kini saatnya kita yang memberi kepada mereka. Mereka hanya ingin hidup damai dan bisa terus berkembangbiak. Kita harus memberikan perlindungan kepada mereka. Perlindungan tak perlu dalam bentuk fisik, cukup dengan tidak mengganggu, mengeksploitasi dan tidak menginginkan gadingnya.
benar sekali..^_^