(28/07/2016)

Empat tahun sudah sejak saat itu.

Hari dimana aku dan kamu mendiskusikan tentang sesuatu yang akan menjadi keseharianmu, sesuatu yang nantinya akan melekat seumur hidup bersamamu, sesuatu yang kala itu masih tabu.

Waktu berlalu, terus berjalan dan terus berubah. Tak mau menunggu apalagi berulang. Tak banyak kata, tak banyak bicara dan tak banyak juga hal yang dapat aku lakukan.

Awalnya aku berpikir betapa bodohnya dirimu mau melahap apa yang aku ucap, namun ternyata aku salah. Akulah yang terlewat bodoh karena tak memberimu ruang untuk kau berpikir dan memutuskan sendiri tentang apa yang engkau dambakan.

Aku sempat memohon kepada detik, menit, jam dan hari agar mau berputar mundur ke masa itu, aku ingin menghapus segala ucapku, ingin membiarkan kau berpikir secara jernih tanpa halang rimba dari sang entitas yang imajiner.

Selama itu aku tersiksa, siksa dari sebuah bayang, bayang tentang segala ucap yang menjadi keputusan. Keputusan yang kini bediri bersamamu, berjalan bersama engkau. Khawatir.

Mungkin kau tak merasa, namun aku merasa. Mungkin kau tak lagipeduli,namunaku tetap peduli. Bahkan aku tahu kau tak akan pernah meminta apalagi berharap, namun ada beban moral yang membuat aku harus merasa bertanggung jawab. Terdengar hiperbola, namun aku berada di dalamnya.

Hari demi hari khawatir itu tak pernah sirna, aku merana.

Beberapa kali aku mencari tahu keberadaanmu, mencoba bertanya tentang kabarmu, tak lain dan tak bukan hanya untuk melampiaskan kekhawatiranku, bukan yang lain. Aku ingin memastikan bahwa engkau baik-baik saja di alam yang dalam anggapanku sedikit banyak aku ciptakan.

Tak banyak yan bisa aku lakukan kecuali mengamati dan memastikan bahwa engkau aman di alam itu, alam yang hidup bersamamu. Aku takut kau berada di alam yang kurang tepat bahkan salah. Aku ngeri nantinya hal ini menjadi penyesalan seumur hidup bagimu dan jiwamu.

Namun sepertinya hari ini aku boleh melongarkan sabuk. Kekhawatiranku rasanya sudah boleh sirna, terbang menguap bersama embun yang disapa mentari, bersama kebahagiaanmu.

Bolehlah hari ini aku terlepas dari moralitas yang tak pernah kunjung muncul ke permukaan. Dia yang selalu berada di relung batin. Aku ingin engkau tahu betapa bahagianya diriku mendapatkan kabar baik mengenai hari ini, emosi ini meledak-ledak tak karuan ketika mendapati engkau sudah berada di titik sana.

Di hari ini aku aku siap untuk melepas khawatir itu. Ingin rasanya berjumpa dan mengungkapkannya secara langsung, namun sudah terlalu banyak garis batas yang kini melintang di antara aku, kamu dan alam mu. Hanya ini yang ingin aku ungkapkan di hari bahagiamu :

“Bahagiaku bukan bahagiamu, namun bahagiamu adalah bahagiaku. Berbahagialah kawan!” (28/07/2016)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s