Kisah Dari Dataran Tinggi India – Kibber

Perasaanku tak karuan ketika tiba di desa Kibber. Aku tiba ketika langit mulai gelap, tepat ketika hewan-hewan ternak bergerombol pulang kerumah para majikannya. Seharian langit mendung, angin dingin bulan oktober mulai berhembus, pun awan tipis mulai menyelubungi puncak lancip barisan gunung di Spiti Valley, India. Ini adalah pertama kali kawasan Spiti terlihat murung sejak hari pertama kedatanganku. Aku enjadi khawatir tak bisa mengeksplor Kibber akibat terhadang oleh cuaca.

india-1024x580

Beruntung malam itu aku bisa mendapat ruang terakhir di losmen yang hanya memiliki 4 kamar saja. Saat itu semua penginapan penuh, bukan karena ramai pelancong melainkan akibat penginapan lainnya sudah berhenti beroperasi karena winter segera tiba.

Kebanyakan masyarakat yang tinggal di kawasan Spiti termasuk desa Kibber akan hijrah ke lokasi yang lebih rendah selama salju turun, ini adalah upaya mengindari ancaman cuaca ekstrim juga untuk mendekatkan diri ke sumber kebutuhan pokok. Mayoritas dari mereka memilih Kaza sebagai rumah keduanya, selain rendah dari desa ini juga lah segala kebutuhan pokok untuk desa-desa berada di Spiti Valley didistribusikan.

Beruntung lagi esoknya hari sangat cerah, antusiasku untuk menyusuri desa yang di klaim sebagai salah satu desa dengan akses kendaraan tertinggi di dunia ini kembali memuncak. Pagi itu aku mendaki bukit yang ada di sebelah barat Kibber. Tidak ada jalur, manusia maupun hewan yang kutemui selama 2 jam pendakian. Orang terakhir yang kutemui adalah petani gandum yang tengah memanen ladangnya ketika masih di kaki bukit.

Mulanya aku berniat hiking ke dataran tertinggi dari bukit ini, sekedar untuk menikmati hamparan Himalaya. Naas kondisi tak medukung, angin terlalu kencang, persediaan air habis dan sandalku pun sudah teramat tipis. Walau demikian aku tak kecewa dibuatnya, pemandangan disini telah membuatku termenung hingga tak mampu menyimpulkan kisah kemolekannya.

Puas menikmati keagungannya aku pulang melalui jalur lain. Sungguh kala itu aku tersesat, aku kehilangan arah, bahkan sempat beberapa kali terperosok. Hati merasa was-was namun aku terus berjalan ke arah lembah, dan entah bagaimana bisa terpikir olehku untuk mengikuti jejak kotoran hewan yang ada sepanjang perjalanan itu.

Satu jam, tak disangka aku berada di tengah kumpulan yak, pashmina dan keledai yang sedang digembalakan. Aku menghampiri para gembalanya, aku bergabung dan bercengkrama dengan mereka yang sedang beristirahat. Mereka memperlakukanku dengan sangat baik bahkan rela membagi bekal makanan dan minumannya yang minim kepadaku. Aku pun sempat diajarkannya menggembalakan hewan ternak mereka. Sungguh tak terduga.

Matahari mulai turun, aku melanjutkan perjalanan pulang mengikuti arahan dari para gembala tersebut. Sambil berjalan aku berpikir, sunguh desa ini menyuguhkan pengamalan yang langka, memang singkat saja aku di sini namun segala keeksotikan alam, budaya dan masyarakat lokal membiusku dan membuatku berjanji agar kelak kembali lagi untuk menjalin kisah yang baru.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s