Cukup aneh bagiku mendengar kata susah air di negeri yang sangat hijau ini. Di Darjeeling bunga-bunga bermekaran di tiap-tiap balkon rumah, tanaman tumbuh subur dengan sendirinya, drainase mengalir dengan derasnya, namun setiap sore para remaja harus turun ke lembah guna mendapatkan satu tangki 5 liter air bersih.
Jarak yang harus ditempuh untuk mengambil air bersih terbilang tidak dekat dengan rumah mereka, alias jauh. Ditambah lagi dengan kontur tanah Darjeeling yang miring membuat beban ekstra bagi mereka para pemburu air bersih. Mereka berjalan turun dengan tangki kosong untuk mencari air, dan menanjak dengan satu tangki penuh di tangan ketika pulang. Naik dari lembah merupakan suatu hal yang akan menguras tenaga dan napas di negeri yang kadar oksigennya lebih tipis dibanding dengan kota-kota lainnya yang berada di dataran rendah. Waktu yang diperlukan untuk turun dan naik dari lembah pun tidak sebentar, kira-kira satu jam untuk mereka bisa bolak-balik ke atas lembah dan melanjutkan kembali perjalanannya ke rumah.
Mungkin hal ini tidak sedrama kisah-kisah kekeringan di negara timur tengah atau Afrika sana yang perlu berjalan bermil-mil untuk menemukan sebuah genangan air saja. Atau di negeriku sendiri di sebelah timur Indonesia yang memiliki kisah kurang lebih sama dengan para pemburu air dari Afrika.
Namun melihat situasi disini yang semestinya tidak kesulitan air bersih membuat aku bingung. Harga air bersih yang ditawarkan oleh perusahaan air bersih terbilang sangat mahal, khususnya para pemilik penginapan dibuatnya sakit kepala dengan hal ini. Pantas saja setiap masuk penginapan selalu ada himbauan dalam secarik kertas yang menegaskan bahwa setiap tamu penginapan harus hemat menggunakan air. Aku telah tiga kali berpindah penginapan disini dan situasinya sama. Penginapan pertama menghimbau hal tersebut dan melarang para tamunya untuk mencuci pakaian sendiri dengan konsekuensi denda 500rs apabila ketahuan mencuci pakaian di dalam kamar. Penginapan kedua tidak menampilkan himbauan secara tertulis namun air yang keluar dari keran sangatlah kecil. Penginapan ketiga tidak bermasalah dengan debit air namun sang pemilik penginapan selalu mengeluhkan mahalnya biaya air yang harus ia bayar setiap bulannya. Air bersih merupakan hal yang mahal di negeri yang berlimpah air ini.
Sebenarnya sumber air disini sangat banyak, bahkan curah hujan pun sangat tinggi. Namun tidak ada pengelolaan yang dilakukan dengan sistematik disini. Air dibiarkan saja mengalir dan tercemar ke hilir melalui drainase-drainase yang ada di Darjeeling. Alhasil yang rumahnya berada di atas harus turun kebawah untuk menjemput air bersih yang mengalir begitu saja. Hanya beberapa rumah dan gedung saja yang memiliki pipa penyalur dari sumber air langsung ke rumahnya.
Aku sedang berada di perkebunan teh ketika bertemu dengan para remaja pemburu air. Mereka sedang menuju lembah sedangkan aku sedang menikmati lanskap disana. Kami melakukan sedikit perbincangan ala kadarnya, aku menanyakan tentang kegiatan yang sedang mereka lakukan.
Setiap hari di sore hari mereka akan memecah kesunyian lembah perkebunan teh yang damai ini dengan canda dan tawanya, mereka selalu hadir dalam formasi anggota pemburuan yang sama. Lembah dimana terdapat sumber air bersih sendiri berada di kawasan perkebunan teh ternama di Darjeeling, Happy Valley. Tak salah di beri nama Happy karena pasalnya setiap orang yang datang kesana akan merasakan senang, termasuk para pemburu air bersih.