HARI ITU DI GEORGE TOWN (16/11/16)

penarik-becak-di-george-town

Penarik Becak di George Town

George Town sangat tenar dengan street art yang bertebaran di hampir seluruh penjuru kota-nya, mulai dari mural berdimensi dua maupun mural-mural yang berpadu dengan media  tiga dimensi yang diolah seakan menjadi bagian dari mural tersebut ataupun sebaliknya. Mural-mural tersebut sudah mendunia dan selalu diburu oleh para wisatawan yang berkunjung di kota ini. Antusiasme atas kegiatan berburu street art ini sangat tinggi, dan pemerintah setempat-pun sangat memfasilitasi-nya. Mulai dari peta lokasi street art, penunjuk arah dan bus wisata gratis yang mengitari kota George town. Bisa dibilang bahwa berkunjung ke George town berarti berwisata menyusuri kota tua sambil berburu street art.

Sore itu saya duduk di terminal bus Jetti, saya baru saja turun dari Bus wisata gratis yang disediakan oleh pemerintah Malaysia di kawasan George Town (CAT). Saya menumpang bus gratis ini bukan untuk berburu street art, melainkan hanya ingin menyejukan diri di dalam bus berpendingin udara yang sangat nyaman setelah hampir satu hari saya berjalan kaki mengitari kawasan kota tua George Town.  Hari itu matahari sangat terik.

Mural-mural di George Town

Saya duduk agak lama di sana sambil mengamati satu persatu penumpang yang naik dan turun dari bus-bus yang silih berganti keluar masuk terminal sambil berpikir mau kemana saya selanjutnya. Waktu itu pukul empat sore, dan saya tidak rela apabila harus langsung pulang ke tempat tinggal saya di Perai yang hanya terpaut 30 menit dari terminal bus ini. Artinya liburan saya berakhir terlalu dini hari itu apabila saya langsung pulang.

Akhirnya saya mengambil rencana untuk berpindah lokasi dari George Town ke pantai Batu Feringgi yang hanya berjarak beberapa belas kilometer saja atau sekitar 50 menit menggunakan bus dari terminal ini. Rasanya masih terkejar untuk menyaksikan fenomena harian matahari tenggelam dari pantai tersebut. Walau sebenarnya pantai bukanlah lokasi favorit saya, namun hari itu saya hanya berpikir untuk memanfaatkan waktu kosong sebanyak mungkin. Sambil menunggu bus jurusan Batu Feringgi saya membuka ponsel untuk melihat jam dan memeriksa notifikasi yang masuk.

Ada sebuah notifikasi dari aplikasi Couchsurfing yakni sebuah ajakan untuk bertemu di George Town dari seorang laki-laki bernama Jordan. Sambil menunggu bus ke Batu Feringgi saya berkomunikasi dengan Jordan dan dia menawarkan saya untuk bergabung mencari makan malam bersamanya. Bisa dibilang saya orang yang cukup impulsif ketika sedang traveling, saya bisa mengubah destinasi dan rencana secepat kilat tanpa mempertimbangkannya sama sekali. Dan ya, saya meninggalkan terminal bus tersebut dan berjalan kembali ke kawasan George Town untuk bertemu dengan Jordan di lokasi yang telah kita sepakati, yakni Red inn Court, di dekat Little India.

Ternyata Jordan tidak sendiri, dia bersama gadis bernama Ezgi yang juga ditemuinya melalui Couchsurfing pada malam sebelumnya. Yang mengejutkan saya ketika pertama kali melihat Jordan dan Ezgi adalah kami berada di bus yang sama beberapa belas menit sebelumnya. Mereka berdua tidak menyadari bahwa saya ada di bus yang sama dengan mereka karena saya duduk di kursi paling belakang, sedangkan mereka berdua berdiri di bagian tengah bus yang saat itu cukup penuh. Mereka berdua sempat menarik perhatian saya ketika di dalam bus karena waktu itu Jordan masuk ke dalam bus melalui pintu keluar sedangkan Ezgi melalui pintu masuk. Selain itu juga karena Jordan menggunakan tas yang unik.

Setelah perkenalan singkat, percakapan kami langsung mengarah kepada makan malam apa yang akan kami dapatkan karena kami bertiga  ternyata berada di dalam kondisi yang sama yakni lapar.

Yosea, kamu mau makan apa? Saya tidak punya ide” tanya Jordan kepada saya

Saya setuju dengan apapun yang akan kita makan, saya pemakan segala ucap saya kepada Jordan dan Ezgi.

Ya, saya juga bisa memakan apapun” Sahut Ezgi

Setelah berunding akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke restoran India, namun nasib berkata lain. Restoran yang kami tuju tutup, dan kami pun kehilangan ide. Petang pun datang, cahaya mentari mulai melesu berganti peran dengan awan-awan kelabu yang menggiring hujan secara perlahan dari utara . Kami bertiga berjalan menyusuri pedestrian tanpa arah dan tahu akan mengisi perut kami dengan apa. Atmosfir berganti, bila sebelumnya nuansa India kini suasana tiongkok tua dengan deretan gedung berasitektur khas pecinan mewarnai hampir seluruh penjuru yang bisa ditangkap oleh mata kami. Perut  yang sudah semakin sulit untuk berkompromi akhirnya membuat kami memutuskan dengan cepat untuk masuk kedalam kedai mie yang kami temui pertama kali, yang mana saat itu sangat ramai pengunjung sampai-sampai kami bertiga harus berbagi meja dan kursi dengan pembeli mie lainnya.

Konversasi demi konversasi mewarnai meja yang kita tempati sore itu demi mengalihkan konsentrasi dari perut kami yang sudah menjadi sangat lapar akibat mie yang kami pesan tak kunjung tiba dihadapan kami. Sebagai tiga orang dari tiga negara berbeda dan baru pertama kali bertemu secara normatif perbincangan akan selalu dimulai dengan pengenalan diri dan tempat tinggal masing-masing. Ezgi berasal dari izmir, Turki dan Jordan berasal dari Jordania. Mengetahui saya berasal dari Indonesia Ezgi mempertanyakan status saya yang tidak merokok.

kedai-mie

Kedai Mie

“aku tidak percaya kamu dari Indonesia namun tidak merokok, saya merokok Gudang Garam ketika di Indonesia” ucap Ezgi.

Ternyata Ezgi baru saja mengunjungi Indonesia beberapa hari sebelumnya. Dan berdasarkan pengalamannya tersebutlah dia menyatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan perokok paling banyak dibanding negara-negara lain yang pernah dia kunjungi.

“mungkin karena rokok di Indonesia murah dan dijual dengan sangat bebas” ucap saya.

Kami tiga orang asing yang bertemu di George Town hari itu datang bukan untuk tujuan berburu street art. Kami bertiga hanya ingin merilekskan diri dan menikmati suasana dari kota tua bernama George Town di Pulai Pinang Malaysia ini. Saya sendiri lebih tertarik untuk mengamati dan berinteraksi dengan warga lokal ketimbang berkeliling kota sambil berburu street art, seperti ikut bergabung dengan para lelaki tua yang tengah duduk sambil meminum kopi dipinggir-pinggir trotoar, berbincang dengan para penarik becak dan pedagang buah atau tertawa melihat lelaki paruh baya berjalan kaki dengan setengah baju terangkat memamerkan perut buncitnya  guna menyejukan tubuhnya, sungguh kental akan ciri khas dari tingkah polah orang-orang China daratan atau juga menonton para turis yang antusias bergaya untuk berfoto dengan street art di kawasan UNESCO heritage site ini. Kala itu Ezgi sedang melangsungkan liburan jangka panjangnya paska resign dari tempat kerjanya di Turki, Jordan dia adalah whole life traveler yang kebetulan hari itu sedang berada di George Town, atau saya lebih senang menyebutnya sebagai full time traveler yang mana seluruh hidupnya didedikasikan untuk menjelajahi negara-negara yang terpampang di atas bola dunia, sedangkan saya sendiri hari itu tengah mengisi waktu kosong, karena kebetulan saat ini saya tinggal di Perai yang hanya berjarak beberapa kilometer saja dari George Town.

Nuansa George Town

Walau baru jumpa untuk pertama kali rasanya kami sudah akrab bagaikan teman lama yang sedang berkelana bersama, tak ada rasa canggung yang menyelimuti interaksi  kami bertiga. Topik demi topik terus berganti sampai akhirnya mie yang kami pesan terhidang di hadapan. Inilah seni dari sebuah traveling, ketika kita tidak bersama sahabat kita akan mendapatkan sahabat baru. Traveling seorang diri akan selalu memberikan kejutan tak terduga. Saya berhipotesa bahwa solo traveling adalah sebuah refleksi, dimana kita memberikan kesempatan kepada diri kita untuk mengenal lebih dari diri kita, mengenal lebih lingkungan yang kita kunjungi dan melatih diri untuk bisa beradaptasi dengan cepat dan lebih peka terhadap sebuah situasi. Bukan sekali atau dua kali bahwasanya ketika kita traveling bersama teman ataupun keluarga maka konsentrasi kita akan lebih tercurah kepada mereka, kita akan kehilangan kesempatan untuk bisa berinteraksi lebih dengan apa-apa yang kita jumpai selama traveling. Rasanya para penggiat solo traveling akan sepaham dengan pendapat saya ini, walau memang semuanya tidak bisa disama-ratakan.

Sumpit pun saling beradu, memindahkan mie panjang-panjang dari  mangkok ke dalam mulut kami masing-masing. Mangkok sudah kosong, namun perut kami masih menagih asupan. Akhirnya kami keluar dari kedai sebut dan kembali berjalan tanpa arah untuk mencari sesuatu yang bisa memuaskan perut kami yang belum kunjung mengucapkan terimakasih atas mie yang telah kami beli.

Kedai Mie

Dan akhirnya hujan pun turun. Kami tidak menepi melainkan terus melanjutkan berjalan, air yang turun dari langit tidak menurunkan ambisi kami untuk menikmati kota ini dalam hujan sembari mencari asupan untuk perut.

Saya tiba-tiba berhenti di depan sebuah gang karena melihat sebuah kedai kopi kaki lima yang cukup menarik, suasananya sangat jauh dari kata turistik. Para pengunjungnya bisa dipastikan adalah warga lokal. Disini para peminum kopi hanya difasilitasi meja dan kursi plastik dan udara terbuka, bukan sofa empuk dan pendingin udara.

Ayo kita duduk di sini saja!” Ucap Ezgi spontan setelah melihat saya berhenti disana.

Okay!” sahut Jordan.

“Saya pikir saya memang butuh kafein! Ayo masuk” tegas saya.

kedai-kopi

Kedai Kopi Kaki Lima

Kami bertiga pun memesan tiga gelas ice coffee demi menyegarkan raga dan menghapus dahaga, di waktu yang sama lapar yang kami rasa pun sirna. Memang benar bahwa teori bersabda bahwa kita masih akan merasa lapar ketika baru saja selesai makan, namun perasaan lapar tersebut akan sirna setelah beberapa menit dan berubah menjadi rasa kenyang. Mungkin saja ini karena hawa nafsu yang menderu jiwa kita ketika menggerus habis makanan yang ada di depan mata.

Perbincanganpun berlanjut ke topik liar lainnya. Mulai dari makanan-makanan yang membuat air liur berproduksi sangat cepat sampai hal-hal liatr lainnya. Kami bertiga pernah traveling ke India, dan ini menjadi sebuah perbincangan yang sangat menarik bagi kami. Tiga kepala dengan pemikirannya masing-masing ini menceritakan pengalaman yang didapat dari negeri nan eksotik tersebut dari perspektifnya masing-masing. Jordan jatuh hati dengan Goa, Ezgi merasa tidak aman ketika berjalanan sendiri di sana akibat para pria lokal yang selalu memperhatikannya.

Saya pikir kita tidak perlu melakukan apapun di India, karena disana semuanya akan datang sendiri kepadamu” Ucap Jordan ditengah perbincangan tentang India.

Sedangkan saya merasa bahwa jiwa saya tertinggal disana dan perlu kembali ke negeri itu untuk menjemputnya balik.

Hujan berhenti, hari sudah gelap dan kami pun akhirnya berpindah lokasi ke sebuah pusat perbelanjaan karena pada saat itu kami butuh untuk ke toilet. Saat itu kami juga ingin meluruskan kaki yang sudah mulai letih akibat perjalanan hari itu di dalam ruangan yang sejuk.

Sebuah Ice cream yang manis menjadi penutup petualangan kami bertiga yang juga manis di hari di kota tua bernama george town yang berada di negeri semi moderen ini

Bersama Jordan dan Ezgi

Usai sudah petualangan saya Jordan dan Ezgi di George town hari itu. Kami memutuskan untuk beristirahat sambil membunuh waktu di loby penginapan Jordan. Petualangan usai, namun bukan berarti sesuatu yang istimewa berhenti hadir. Disini kami berjumpa dengan Rosalie, seorang gadis asal Amerika Serikat yang sudah tiga tahun mendedikasikan dirinya pada sebuah organisasi di Chiang Mai Thailand dalam bidang pendidikan anak, kebetulan dia juga menginap di hostel temapt Jordan tinggal. Belakangan saya tahu bahwa Rosalie adalah seorang penyair puisi dan sudah menerbitkan karyanya dalam sebuah buku. Sungguh menginspirasi saya yang memiliki mimpi untuk menjadi seseorang yang bergelut di dunia sastra.

Disisa waktu yang ada pada tanggal 16 November itu kami berbincang dan saling berbagi pemikiran. Dan Donald Trump yang  sehari sebelumnya baru saja memenangkan election menjadi topik hangat yang kami bincangkan, menjadi bahan pembicaraan yang sangat seru dan menambah wawasana saya yang sebenarnya saya tidak memiliki kapasitas  di bidang politik.

Haripun harus diusaikan pada detik itu karena saya harus mengejar ferry dan bus umum yang beroperasi terakhir ke tempat tinggal saya di Perai. dua buah kata yang sangat berat untuk dikatakan yakni “Hello” untuk yang pertama kali dan “Good Bye” untuk terakhir kali harus kembali terucap dihari itu. Saya selalu memaknai  dan menaruh arti pada sebuah perjumpaan walau itu hanya dalam waktu yang singkat, karena saya sangat percaya bahwa pertemuan bukanlah sebuah kebetulan semata.

Inilah traveling bagiku, bukan sekedar tentang menikmati dan mengapresiasi lokasi-lokasi yang kita kunjungi, namun juga tentang menikmati segala sesuatu pengalaman dan hal-hal yang datang menghampiri kita dari konversasi-konversasi yang kita lalui juga segala nuansa yang kita rasakan dari kelima indera yang kita punya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s